Opini oleh: Pinnur Selalau
Jika kita mengamati berbagai kasus korupsi di Negeri ini, dapat dikatakan sebagian besar pelakunya adalah kalangan terpelajar. Sebagian diantaranya lulusan Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri maupun perguruan tinggi Swasta dan bergelar Sarjana, Magister, Doktor, Profesor, bahkan ada yang menyandang jabatan akademik tertinggi sebagai Rektor, Dekan, dan lain-lain.
Realita itu merupakan tamparan bagi dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi Pejuang Anti Korupsi justru terkesan "Menernak" Koruptor.
Seyogyanya, dengan seperangkat pengetahuan yang dimiliki, Civitas Akademika Perguruan Tinggi semestinya berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, dan menjadi pelopor Gerakan Anti Korupsi. Namun kenyataannya tidak sedikit kalangan terpelajar justru menjadi pelaku korupsi itu sendiri. Kondisi seperti ini menjadikan latar belakang sosial pelaku korupsi semakin beragam, mereka tidak hanya berasal dari kalangan elit partai politik, eksekutif, legislatif, Yudikatif, TNI-Polri, Pengusaha, tapi sudah merambah juga ke Civitas Akademica Campus.
Mengapa kalangan terpelajar terseret ke dalam pusaran korupsi? Padahal mereka termasuk dalam kelompok yang berilmu pengetahuan tinggi, bahkan sebagian dari mereka dikenal memiliki rekam jejak yang hebat.
Apakah mungkin hal itu terjadi karena mereka terlalu jauh bersinggungan dengan politik dan kekuasaan, serta kemungkinan mereka juga tidak siap untuk berurusan dengan budaya birokrasi yang koruptif.
Persoalan hubungan politik kekuasaan dengan korupsi, pernah diutarakan Lord Acton saat menulis surat pada Bishop Mandell Creighten, yang mana isi dalam surat Lord Acton tersebut menulis ungkapan yang terkenal hingga saat ini yakni, "Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely"; orang yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya, yang artinya kira-kira demikian.
Sebagai modal penting yang harus dimiliki oleh kelompok terpelajar adalah moral serta akhlak. Modal akhlak bersifat universal, karena berlaku bagi siapapun dan apapun agamanya. Masalah akhlak sangatlah penting karena menyangkut integritas seseorang.
Oleh karena itu kalangan terpelajar jangan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, apabila bersinggungan dengan politik dan kekuasaan.
Ahmad Syafii Maarif atau yang dikenal dengan (Buya Syafii), beliau pernah menyatakan bahwa perspektif moral dapat digunakan untuk menilai apakah seseorang yang terpelajar telah berkhianat, terpleset, tertipu, khilaf, naif, atau tidak paham dengan medan pergaulan sehingga salah dalam mengambil langkah. Disini kita dapat menilai moralitas mereka yang terpelajar, namun tersandung kasus korupsi.
Kita sadar bahwa sudah begitu banyak kalangan terpelajar yang terlibat kasus korupsi. Untuk itu lembaga pendidikan mulai mengembangkan pendidikan Anti korupsi. Pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), anak-anak mulai dibekali pendidikan antikorupsi walaupun dalam bentuk yang sederhana.
Dan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, juga dikembangkan kurikulum pendidikan antikorupsi. Bahkan ada usaha untuk membudayakan kejujuran melalui program percontohan "Kantin Kejujuran" dibeberapa sekolah. Namun sayangnya program kantin kejujuran tidak bertahan lama, bahkan banyak yang mengalami kebangkrutan.
Dan di perguruan tinggi juga dikembangkan kurikulum pendidikan antikorupsi dengan cara yang bermacam-macam. Sebagian kampus menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai mata kuliah mandiri. Dan sebagian lagi dilakukan dengan cara menyisipkan (Inserting) materi antikorupsi pada beberapa mata kuliah relevan.
Namun menurut saya, semua itu akan sia-sia dan tidak akan berhasil untuk menghasilkan pejuang-pejuang antikorupsi, jika dikalangan pendidiknya sendiri terlibat praktek korupsi. Karena kalau demikian, maka akan berlakulah istilah dalam pepatah "Guru kencing berdiri murid kencing berlari".
Sektor pendidikan selalu menjadi sasaran empuk korupsi. Berbagai kasus telah ditemukan dari oknum guru, kepala sekolah, Dosen,Dekan, Rektor dinas pendidikan, hingga tingkat pusat. Tindakan ini tentu tidak dapat ditolerir mengingat pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk generasi masa depan demi keutuhan NKRI.
Secara umum diketahui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum membaik. Minimnya sarana dan prasarana serta akses pendidikan yang belum merata masih jauh dari harapan, karena semua anak Indonesia berhak atas pendidikan yang berkualitas.
Masalah ini memiliki akar penyebab yang sama, yaitu korupsi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh berbagai pejabat lembaga pendidikan baik pendidikan tingkat Dasar hingga perguruan tinggi, mulai dari guru hingga bupati, walikota, gubernur serta pejabat kementerian. Korupsi ini dapat terjadi karena pengendalian yang lemah sehingga menciptakan ruang manipulasi yang tinggi.
Menurut pandangan, ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap buruknya layanan pendidikan di Indonesia. Isu-isu umum terkait dengan pengelolaan anggaran, kualitas pengajar dan ketersediaan sarana dan prasarana, ukuran anggaran saja tidak cukup. Perlu dilihat bagaimana anggaran itu direncanakan, didistribusikan dan digunakan. Persoalannya, dunia pendidikan tak luput dari persoalan tidak mengkorupsi pengeluaran sesuai prioritas kebutuhan.
Sebagai contoh, Rektor Unila yang terkena OTT KPK pada Jumat (19/8/2022) masuk daftar hitam kasus korupsi di dunia pendidikan terkait kasus suap dalam penerimaan mahasiswa baru Unila tahun 2022, di tempat yang seharusnya membentuk pemimpin-pemimpin generasi bangsa. Hal ini juga merugikan banyak anak Indonesia yang kehilangan akses ke pendidikan tinggi karena hanya orang kaya yang mampu membayar lebih.
Maraknya korupsi di sektor pendidikan harus menjadi perhatian. Bahkan diduga tindakan korupsi dan pemborosan dana jauh lebih besar dari jumlah kasus yang ditangani APH. Semakin banyak kasus, semakin besar kerugian negara, berakibat layanan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia menjadi suram. Apalagi pendidikan merupakan pelayanan dasar yang sangat berperan dalam pembentukan karakter dan sikap seseorang.
Berangkat dari hal tersebut, tidak mengherankan bahwa siapa pun, baik dari lembaga, organisasi dan semacamnya yang memahami pentingnya pendidikan, biasanya ingin tahu tentang bagaimana sistem pendidikan yang sebenarnya diterapkan dan seberapa baik negara yang bersangkutan menerapkan sistem pendidikan saat ini.
Pendidikan Antikorupsi merupakan salah satu dari upaya pemberantasan korupsi yang bersifat preventif serta upaya pemberantasan korupsi secara kuratif. Dunia pendidikan khususnya lembaga pendidikan pada umumnya memiliki badan pengetahuan yang menjernihkan berbagai kesalahpahaman dalam upaya pemberantasan korupsi. Sektor pendidikan memiliki jaringan yang kuat melalui lembaga pendidikan. Pendidikan Antikorupsi akan menjadi gerakan yang luas, sehingga mampu menekan tingkat kejadian korupsi di dunia pendidikan.